Jangan Membunuh
Devotion from :
Hal pertama yang dibahas oleh Yesus untuk menjelaskan cara menaati Taurat adalah perintah jangan membunuh. Apakah dengan tidak pernah mencabut nyawa orang lain berarti kita telah menaati Taurat? Jika demikian cara menaati Taurat, maka kita tidak memerlukan penebusan Tuhan Yesus karena sebenarnya menaati Taurat dengan sempurna bukanlah hal yang sulit. Tidak membunuh, tidak berzinah, tidak mencuri, dan sebagainya. Bukankah banyak orang yang sanggup melakukan hal ini di dalam kehidupan mereka? Tetapi Tuhan Yesus menyatakan di dalam otoritas-Nya yang penuh sebagai Raja dari Kerajaan Allah, bahwa Taurat harus ditaati hingga ke dalam hati manusia. Tetapi siapa yang dapat menilai hati seorang manusia? Siapa yang bisa melihat motivasi di dalam hati seseorang? Tuhan Yesus bisa! Dialah hakim yang akan melihat menembus tempat terdalam di dalam jiwa seseorang.
Di dalam ayat 22 Tuhan Yesus menjelaskan dengan perbandingan yang semakin dalam tentang perintah “jangan membunuh”. Dia mengatakan bahwa siapa yang marah akan dihukum. Lalu selanjutnya adalah siapa mengatakan “raka (kosong)” harus diserahkan ke pengadilan. Dan siapa yang mengatakan “bodoh” harus diserahkan ke dalam neraka. Tuhan mengidentikkan pembunuhan dengan marah dan ekspresi marah yang berbentuk kata-kata, bukan kekerasan fisik, apalagi pembunuhan. Di dalam perintah “jangan membunuh” ternyata ada tuntutan Tuhan Yesus untuk tidak membiarkan diri kita dikuasai oleh marah kepada orang lain. Marah bukanlah hal yang salah, asalkan sesuai dengan sifat-sifat Allah. Jika kita marah untuk hal-hal yang juga membuat Allah marah, maka itu adalah marah yang tepat. Marah karena dosa, marah karena pemberontakan dan sikap tidak hormat manusia kepada Allah, ini adalah contoh marah yang benar. Tetapi marah karena diri sendiri dirugikan, atau karena diri sendiri telah dilanggar, ini adalah marah yang cemar. Pembunuhan diawali dengan marah seperti ini, dan marah seperti ini dapat mengarah kepada pembunuhan. Tetapi meskipun marah cemar yang menyala-nyala itu tidak diikuti dengan pembunuhan, sebenarnya kecemaran hati seorang pembunuh telah ada di dalamnya. Marah yang cemar itu dapat muncul dalam bentuk perkataan kasar ataupun ucapan yang menghina yang diucapkan oleh seseorang.
Mulut kita akan memperkenalkan kebencian kita, dan kebencian kita akan memperkenalkan bahwa kita sebenarnya adalah pembunuh. Jika kita mengatakan kata-kata seperti “raka!” (diterjemahkan “kafir” oleh LAI), yaitu kata-kata untuk menghina orang lain karena kebencian kita kepada mereka, maka sebenarnya kita harus diadili sebagai pembunuh. Jika kita mengatakan kata-kata seperti “bodoh!” karena kebencian kita kepada orang lain, maka sebenarnya kita harus dihukum sebagai seorang pembunuh. Inilah kedalaman yang sebenarnya dari tuntutan Taurat itu. Mulut kita bersaksi bahwa kita adalah pembunuh sama seperti seorang pembunuh yang tertangkap basah dengan pisau yang berlumuran darah. Lalu bagaimana? Apakah kita tidak mungkin bebas dari dosa ini? Ya. Di dalam Kristus ada pembebasan yang sejati. Dia mati untuk menjadi korban untuk menggantikan hukuman atas dosa-dosa kita, dan Dia hidup di dunia ini untuk menjadi teladan dan pengajar tentang bagaimana menang atas dosa-dosa kita. Bagaimana agar kita tidak dikuasai marah yang sangat dibenci oleh Tuhan? Hanya satu cara, yaitu berdamai dengan orang-orang yang kita benci atau dengan orang-orang yang membenci kita karena kesalahan kita.
Tuhan tidak akan menerima persembahan di altar, yang kita persembahkan agar kita berdamai dengan Dia, jika kita sendiri menolak berdamai dengan sesama kita. Inilah cara yang diajarkan Yesus agar kita tidak menjadi pembunuh-pembunuh yang membunuh orang lain dengan kebencian dan kata-kata kita kepada mereka. Mampu mengampuni dan juga kerelaan mengakui dosa jika tindakan kita membuat orang lain membenci kita. Siapa yang membenci orang lain karena perasaan dendam yang muncul karena orang lain pernah bersalah kepada kita, hilangkan perasaan benci itu dan belajar untuk mengampuni orang lain. Ini hal yang sangat sulit jika kita berada di posisi yang sangat dirugikan. Tetapi kebencian yang terpupuk di dalam hati akan jauh lebih merugikan daripada kerugian karena disakiti orang lain. Mari berdoa minta kekuatan dari Tuhan untuk mengampuni sehingga jiwa pembunuh yang ada di dalam diri kita terkikis sampai habis.
Hal yang sama terjadi jika kita membuat orang lain membenci kita karena kita pernah merugikan orang lain. Kita harus berani memperbaiki relasi dengan memohon ampun kepada orang yang telah kita rugikan dengan niat yang tulus mau mengganti segala kerusakan yang telah kita perbuat kepada orang lain. Permohonan ampun yang kosong adalah permohonan yang hanya kata-kata saja. Ini tidak berguna! Permohonan ampun harus disertai dengan kesiapan untuk memperbaiki segala yang telah dirusak. Permohonan ampun bukan suatu ucapan sulap yang otomatis memperbaiki semuanya. Jangan menjadi batu sandungan bagi orang lain! Siapa yang gagal memperbaiki segala kerusakan yang telah dia perbuat harus bersiap-siap menanggungnya di dalam penjara (ay. 25). Jika kita menyebabkan orang lain berdosa dengan memelihara marah yang menyala-nyala di dalam hati mereka karena kesalahan kita, maka kita menyebabkan orang lain menjadi pembunuh, maka kita juga berbagian di dalam murka Tuhan jika kita tidak segera memperbaiki kesalahan kita. Tetapi ini tidak berarti jika ada orang yang marah kepada kita maka kita harus memohon maaf kepada dia. Tidak! Siapa yang tidak bersalah, tidak boleh minta maaf! Jangan menghina kebenaran dengan meminta maaf bagi kebenaran! Jika ada khotbah yang menegur dosa dan menyebabkan pendengar marah karena kebenaran yang dinyatakan sang pengkhotbah, celakalah pendengar itu jika dia tidak mau bertobat! Pengkhotbah itu tidak boleh minta maaf karena khotbahnya yang benar. Siapa pun yang marah kepada kebenaran akan menanggung hukuman Tuhan bagi dirinya sendiri. Sekali lagi, siapa yang tidak bersalah tidak boleh minta maaf, karena permintaan maafnya akan menghina kebenaran Tuhan! Tetapi siapa yang bersalah dan menolak untuk memperbaiki kerusakan yang telah dia sebabkan, dia akan menerima hukuman.
Untuk direnungkan:
Mari kita belajar melakukan dua hal ini. Jika kita dirugikan, belajar mengampuni. Jika kita merugikan, belajar mengganti kerugian. Pengampunan bukan hal yang mudah, apalagi kalau kesalahan orang lain sangat besar dan sangat melukai atau merugikan kita. Pengampunan juga bukan berarti kesalahan orang lain tidak perlu dihukum secara adil. Allah kita adalah Allah yang mencintai keadilan. Perintah mengampuni tidak boleh ditafsirkan sebagai perintah jangan menghukum. Tetapi perintah mengampuni adalah perintah yang diperlukan untuk memadamkan marah, dendam, dan kebencian di dalam hati kita, serta menyerahkan penghukuman kepada yang berhak menghukum. Ayat 38-42 dari pasal 5 ini akan membahas hal ini dengan lebih mendalam. Pada bagian ini cukup dengan menekankan bahwa pengampunan yang sejati akan membebaskan kita dari memelihara kebencian dan kemarahan di dalam diri kita yang sebenarnya identik dengan pembunuhan. Siapakah yang pernah merugikan kita? Belajar untuk mengingat bahwa cinta kasih Tuhan bagi kita juga adalah cinta kasih yang Tuhan mau berikan kepada orang yang merugikan kita. Belajar untuk memahami, menerima, dan akhirnya meredakan dendam dan marah di dalam hati. Bagaimana cara melakukan hal ini? Salah satunya adalah dengan mengingat pengampunan Tuhan bagi kita. Kita sudah berdosa sangat besar kepada Tuhan. Kita telah menyakiti hati-Nya dan mencemarkan kekudusan-Nya dengan sangat! Tetapi Dia rela mengampuni kita. Bukankah ini berarti kita juga harus rela mengampuni orang lain? Ingat juga bahwa mungkin Tuhan berencana untuk mempertobatkan orang yang kita benci itu. Mungkin Tuhan akan mengubah dia dan memakai dia untuk melayani Tuhan.
Hal kedua adalah: jika kita merugikan orang lain, kita harus memperbaiki kerugian itu. Inilah pengertian meminta maaf yang sejati. Permintaan maaf tidak boleh diterjemahkan, “saya sudah minta maaf, maka segala yang terjadi dahulu harus dilupakan saja,” tetapi harus dimengerti sebagai berikut: “Saya minta maaf. Saya siap untuk melakukan apa yang perlu untuk memperbaiki kerusakan yang sudah saya timbulkan.” Minta maaf itu sama dengan ganti rugi. Minta maaf sama dengan siap berubah dan memperbaiki relasi yang rusak dengan mengorbankan segala yang diperlukan demi pulihnya relasi itu. Jika kita merugikan orang lain secara keuangan, kerja mati-matian untuk membayar kerugian itu hingga tuntas. Itulah permintaan maaf sejati. Jika kita menyakiti hati pasangan hidup kita, atau orang tua kita, atau anak-anak kita dengan cara yang sangat jahat, tunjukkan kasih yang sejati untuk memenangkan kembali hati pasangan kita, atau anak kita, atau orang tua kita itu.
Doa:
Ya Tuhan, betapa besar dosa kami! Kami sungguh tidak mengerti bagaimana mungkin Engkau rela mengampuni kami. Tuhan tolong kami mengampuni orang lain. Tolong kami juga memperbaiki kerusakan yang telah kami timbulkan kepada orang lain. Beri kami kekuatan ya Tuhan, sebab kami rindu hidup dengan cara yang diperkenan oleh Tuhan, dan kami rindu hingga ke dalam hati kami juga boleh diperkenan oleh-Mu, ya Tuhan. (JP)