Kudusnya Pernikahan

Devotion from Matius 19:1-6

Orang Farisi kembali menguji Yesus dengan pertanyaan-pertanyaan yang menjebak. Di dalam tradisi Yahudi, ada golongan pengikut Rabi Hillel dan Rabi Shammai. Perkataan-perkataan Hillel begitu berpengaruh tetapi dirasa kurang tegas bagi Shammai dan pengikutnya. Shammai adalah penerus Hillel dengan jiwa menyebarkan paham fundamentalisme Yahudi yang lebih ekstrem. Pengikut Hillel dan pengikut Shammai terus berdebat tentang banyak hal penting di dalam hukum orang Yahudi. Salah satu pokok perdebatan mereka adalah alasan perceraian. Di dalam menafsirkan Ulangan 24:1, pengikut Hillel percaya bahwa seorang pria boleh menceraikan istrinya dengan alasan apa pun. Mereka sangat longgar di dalam mengizinkan perceraian. Mereka menganggap bahwa pengertian “tidak senonoh” yang dikatakan dalam Ulangan 24:1 itu bisa berarti apa saja. Membakar roti kurang matang, atau terlalu matang pun dapat dijadikan alasan untuk perceraian! Kemungkinan besar mereka mendasarkan alasan perceraian kepada hal-hal yang umumnya terjadi di antara bangsa-bangsa dengan pengaruh Helenis, yaitu pengaruh budaya Yunani. Tetapi jika dia ingin menceraikan seseorang, harus ada surat cerai untuk membatalkan pernikahan yang telah terjadi, dan dia harus mengembalikan perempuan itu, beserta dengan harta keluarganya yang dipercayakan kepadanya sebagai warisan, kembali kepada ayahnya. Selain suami berhak menceraikan istri dengan berbagai alasan, istri pun boleh meninggalkan suaminya jika didapati bahwa suaminya bertindak tidak pantas di dalam pernikahan. Budaya ini merupakan budaya monogami tetapi dengan ikatan pernikahan yang sangat longgar. Kebiasaan budaya Yunani yang longgar dalam ikatan pernikahan ini membuat golongan Shammai bereaksi dengan memberikan peraturan yang lebih ketat.

Golongan Shammai berpendapat bahwa pernikahan adalah perjanjian yang sangat penting dan karena itu tidak seharusnya boleh dibatalkan dengan sembarangan. Suami hanya boleh menceraikan istrinya jikalau istrinya tidak setia kepada dia. Hanya alasan inilah yang diperbolehkan untuk terjadinya perceraian. Maka orang Farisi pun bertanya kepada Yesus, golongan manakah yang Yesus setujui? Ternyata di dalam ayat 4 Yesus tidak mau menyamakan diri-Nya dengan salah satu golongan ahli Taurat yang ada. Dia memiliki jawabannya sendiri tentang pernikahan. Jika golongan Hillel dan Shammai berdebat tentang Ulangan 24:1, maka Yesus mengambil ayat dari Kejadian 2:22-24. Menurut tradisi Yahudi, segala konsep yang ideal harus kembali kepada Kejadian 1 dan 2. Inilah konsep ideal sebelum manusia memberontak kepada Tuhan. Maka sebenarnya pernikahan pun harus kembali kepada Kejadian 1 dan 2. Berarti setiap perdebatan tentang perceraian dari para ahli Taurat gagal melihat Kejadian 1 dan 2. Mereka telah dikurung oleh tradisi perdebatan yang begitu lama sehingga mereka gagal melihat kesalahan mendasar dari dua golongan itu. Pertanyaan, “apakah syarat-syarat seorang boleh menceraikan istrinya?” dibalas Yesus dengan pertanyaan, “apakah perceraian itu boleh?” Tuhan tidak menginginkan perceraian. Pernikahan adalah lembaga yang sangat penting yang Tuhan sendiri dirikan di dalam Kejadian 2. Tuhan memberkati mereka, laki-laki dan perempuan, dan mereka menjadi satu. Poligami tidak ada di dalam rencana Tuhan bagi manusia. Kawin-cerai juga tidak ada di dalam rencana Tuhan bagi manusia. Itulah sebabnya pernikahan harus dinilai berdasarkan standar Allah sebelum manusia jatuh ke dalam dosa.

Kejadian 2:24 menjadi dasar pernikahan bagi siapa pun di sepanjang sejarah. Mereka tidak lagi dua, melainkan satu. Inilah ayat yang menjadi dasar, bukan Ulangan 24:1. Ulangan 24:1 adalah peraturan untuk mengekang kekacauan akibat kejahatan dan kecemaran hidup manusia, bukan peraturan untuk sesuatu yang mendasar dan ideal. Tuhan tidak menginginkan perceraian. Tuhan membenci ketidaksetiaan. Tuhan tidak ingin pernikahan dilakukan tanpa adanya komitmen sehidup semati. Tuhan tidak ingin perjanjian dibatalkan dengan sembarangan. Hidup manusia harus dilatih di dalam kesetiaan kepada perjanjian. Itulah sebabnya Ulangan 24:1 tidak pernah bisa menjadi dasar pernikahan. Kejadian 2:24 adalah fondasi yang sejati. Orang Farisi dan ahli Taurat mengambil teks dari Kitab Suci dan memakainya sebagai bukti posisi mereka, tetapi bukti itu akhirnya bentur dengan bagian lain dari Kitab Suci. Yesus Kristus sebaliknya. Dia tidak mengutip ayat untuk mendukung posisinya. Dia membacakan ayat itu sesuai dengan maksud Allah di dalam Kitab Suci, sehingga dilihat dari seluruh Kitab Suci sekalipun, jawaban Yesus ini tidak bercacat. Satu suami untuk satu istri, dan satu istri untuk satu suami. Inilah kehendak Tuhan! Tuhan menginginkan dua orang yang menjadi pasangan suami istri untuk tidak pernah mempertimbangkan perceraian. Hanya kematian yang dapat memisahkan.

Pernikahan menjadi begitu penting karena dua hal. Yang pertama adalah pernikahan menjadi lambang perjanjian antara Allah dengan umat-Nya (Hos. 2:15-20). Ini adalah perjanjian yang sangat sakral dan penting. Begitu pentingnya perjanjian ini sehingga Allah mengikat diri-Nya dengan sumpah untuk menepati apa yang telah Dia janjikan (Kej. 22:16-18, Ibr. 6:13-18). Allah tidak akan memalingkan wajah-Nya dari perjanjian-Nya. Dia tidak akan berlaku tidak setia. Dia tidak akan meninggalkan dan membuang manusia. Dia tidak akan memberikan hati-Nya kepada yang lain. Itulah sebabnya pernikahan pun menuntut kesetiaan yang total dan sepenuh hati. Tidak ada yang boleh mempermainkan pernikahan. Setia, baik dari perkataan, tingkah laku, dan hati. Sebab sama seperti Tuhan sangat membenci pemberontakan umat-Nya yang mengabaikan perjanjian-Nya, demikian juga Dia membenci orang yang tidak setia terhadap pernikahan (Ibr. 13:4). Jangan alihkan hatimu kepada yang lain! Jangan alihkan perhatianmu kepada yang lain! Belajar setia terhadap pernikahan atau Tuhan yang akan menghajarmu dengan keras!

Hal kedua yang menjadikan pernikahan begitu penting adalah karena Tuhan memakai pernikahan untuk membuat gambar dan rupa Allah di bumi ini makin banyak dan memenuhi bumi. Tuhan mengatur sehingga manusia-manusia yang Dia ciptakan terjadi melalui relasi seksual dua orang manusia di dalam pernikahan. Relasi seksual begitu dalam dan intim karena melaluinya hidup seorang manusia yang baru diciptakan dan dilahirkan ke dalam dunia ini. Tidak ada relasi yang dibebankan tanggung jawab sedalam relasi seksual. Tidak ada relasi yang begitu penting sehingga seorang anak dilahirkan ke dalam dunia melaluinya. Apa yang terjadi jika pernikahan diabaikan dan tidak dihormati? Yang terjadi adalah perjanjian Allah dihina dan direndahkan. Selain itu seorang anak akan dilahirkan ke dalam dunia dengan orang tua yang saling tidak setia, saling menyakiti, saling menipu satu sama lain. Keberdosaan orang tua yang tidak setia kepada pernikahan, inilah yang menjadi pelajaran hidup yang didapatkan sang anak pertama kali. Maukah kita membiarkan hidup pernikahan kita menjadi rusak dan cemar seperti ini?

Tuhan Yesus lebih suka membahas tujuan Allah di dalam Kejadian 2 untuk membahas pernikahan ketimbang hal-hal apa yang menyebabkan orang boleh bercerai di dalam Ulangan 24. Daripada membahas apakah perceraian diperbolehkan atau tidak, Yesus ingin kita melihat apa tujuan manusia menikah. Bagaimana dengan pernikahan kita? Apakah mencerminkan keindahan perjanjian Allah dengan umat-Nya? Apakah masing-masing pihak belajar setia kepada perjanjian sama seperti Allah setia? Apakah pernikahan kita mencerminkan relasi yang pantas untuk membesarkan seorang anak? Apakah anak kita dapat melihat ayah dan ibunya dan bertumbuh di dalam kesetiaan dan takut akan Tuhan karena teladan yang kita berikan?

Doa:
Tuhan, tolonglah pernikahan kami. Ampuni segala kegagalan kami. Ampuni segala hal yang dapat membuat Tuhan berduka karena kehidupan pernikahan kami. Tolong kami supaya kami dapat belajar setia dan mengoreksi kehidupan kami di hadapan-Mu, sehingga hari demi hari kami terus diperbarui oleh-Mu, ya Tuhan. (JP)

× Silahkan Hubungi Kami