Tanda Yang Kedua

Devotion from Yohanes 4:46-54

Setelah Yesus tiba di Kana, Galilea, ada seorang yang datang kepada-Nya dari Kapernaum. Dia adalah seorang pegawai istana yang datang untuk memohon belas kasihan-Nya agar Dia menyembuhkan anaknya yang sedang sakit. Anak pegawai itu bahkan sudah akan mati karena parahnya penyakit yang dia derita. Yohanes tidak menyebutkan apakah orang ini merupakan pegawai istana Romawi atau istana Herodes. Baik pemerintahan Romawi maupun keluarga Herodes memiliki istana di Kapernaum. Tetapi yang mana pun, keduanya tetap dipandang negatif oleh orang-orang Yahudi. Tetapi bukan hal itu yang disorot oleh Yohanes. Yohanes tidak terlalu tertarik memberikan latar belakang kafir dari pegawai istana ini. Yohanes lebih ingin menyorot kepercayaan orang-orang Galilea terhadap mukjizat. Ini tentu saja menunjukkan bahwa orang Samaria lebih baik daripada mereka. Orang Samaria itu percaya karena kesaksian dari seorang perempuan maupun dari pemberitaan firman oleh Kristus. Mereka tidak percaya karena tanda-tanda. Mereka percaya oleh karena kesaksian dan firman. Inilah yang dipuji oleh Yesus sebagaimana dikutip oleh Injil Yohanes di bagian akhir (Yoh. 17:20, 20:29). Berbahagialah mereka yang percaya karena firman Tuhan. Dia yang beriman kepada Kristus karena kata-kata atau berita Injil adalah orang yang lebih berbahagia daripada mereka yang harus melihat tanda terlebih dahulu. Mengapa? Karena orang yang percaya karena berita Injil memiliki iman yang sejati. Iman yang tidak muncul karena ada bukti nyata yang bersifat spektakuler, tetapi muncul karena memercayai setiap kalimat yang Allah ucapkan. Memercayai firman Allah, itulah iman yang sejati. Orang-orang yang memiliki iman yang sungguh akan menganggap bahwa firman Allah adalah bukti yang paling kuat. Allah telah menyatakannya, maka mereka tidak akan goyah.

Tetapi meskipun demikian, Allah tetap rela menyatakan mukjizat-Nya untuk memanggil orang-orang datang kepada-Nya. Termasuk di dalam ayat 48. Tuhan Yesus mengeluhkan iman orang-orang di daerah Galilea, namun Dia tetap menyatakan kuasa-Nya melalui tanda-tanda mukjizat. Mukjizat diberikan bukan karena orang yang memperolehnya lebih baik daripada orang lain. Sebaliknya, mukjizat menunjukkan kekerasan hati atau ketegaran tengkuk umat Tuhan. Jika tidak diyakinkan dengan kuasa mukjizat maka mereka tidak akan percaya. Tetapi, keunikan dari mukjizat kali ini ada pada sifatnya personal, bukan publik. Tidak diketahui oleh banyak orang. Tetapi di dalam beberapa mukjizat yang dicatat Yohanes, Yesus mengerjakan mukjizat-Nya dengan cara yang tenang, tidak dengan pernyataan yang menarik perhatian, tetapi tanpa disadari banyak orang, mukjizat telah terjadi. Setelah terjadi, barulah orang banyak menikmati. Setelah menikmati, barulah mereka sadar bahwa mukjizat telah terjadi!

Pegawai istana itu datang dan memohon agar Yesus segera datang ke Kapernaum. Yesus mengatakan dua kalimat saja kepada dia. Yang pertama Yesus mengingatkan bahwa tanda mukjizat menunjukkan kekerasan hati orang-orang Galilea. Mereka perlu melihat tanda terlebih dahulu. Kalimat ini memang Yesus katakan kepada pegawai istana ini, tetapi kalimat ini juga berlaku untuk orang-orang Galilea, bahkan untuk orang Kristen saat ini. Jika tidak melihat tanda-tanda, kamu sulit percaya. Perlu ada tanda-tanda menunjukkan kehidupan iman yang miskin. Apakah berarti Tuhan tidak ingin memberikan tanda? Tuhan ingin memberikan tanda, tetapi tanda yang Tuhan ingin umat-Nya pahami adalah tanda penderitaan, kematian di salib, dan kemenangan kebangkitan. Inilah tanda yang jauh lebih penting. Tetapi ketika orang mengejar tanda-tanda yang tidak memberikan pengertian penderitaan dan salib, maka tanda-tanda itu akan membuat penderitaan dan salib menjadi batu sandungan. Tanda-tanda yang Yesus kerjakan sebenarnya berbicara tentang diri-Nya sebagai penggenap janji Tuhan memulihkan kerajaan-Nya. Tetapi ada tanda lain, yaitu tanda penderitaan. Tidak banyak orang Yahudi yang sadar akan hal ini. Bahkan para murid pun tidak. Tetapi tanda penderitaan adalah tanda yang berulang kali dinyatakan di dalam Perjanjian Lama. Itu sebabnya di dalam Yohanes 3:14-15 dikatakan bahwa Anak Manusia harus ditinggikan seperti ular tembaga ditinggikan di atas tiang. Kitab Suci penuh dengan gambaran penderitaan yang dialami oleh orang Israel, bapa-bapa Israel, para nabi, Ayub, Daniel, dan lain-lain. Gambaran penderitaan sebagai bagian dari hidup beriman merupakan tema yang sangat banyak di dalam Perjanjian Lama. Penderitaan bukan hanya karena hukuman atas dosa. Penderitaan menyatakan kerelaan Allah hadir di tengah-tengah manusia. Penderitaan menyatakan kerelaan orang-orang benar milik Allah untuk berbagian di dalam kesulitan manusia, meskipun mereka tidak sedang dihukum karena kesalahan tertentu. Daniel menderita di pembuangan di Babel walaupun dia tidak pernah menyembah berhala ketika masih tinggal di Yerusalem. Nabi-nabi seperti Yesaya dan Yeremia turut mengalami sengsara pembuangan meskipun mereka setia beribadah kepada Allah. Penderitaan juga menyatakan motif salib. Akan ada penderitaan yang membebaskan umat pilihan Allah. Itu sebabnya tanda Kerajaan Allah sebenarnya dinyatakan di dalam dua golongan tanda. Tanda kuasa dan kemenangan, kesembuhan dan pemulihan di satu sisi, tetapi juga tanda penderitaan dan salib di sisi lain. Jika orang-orang Galilea begitu terkagum-kagum akan mukjizat dari satu sisi, siapkah mereka melihat tanda dari sisi lain, yaitu penderitaan?

Meskipun Tuhan tergerak oleh belas kasihan karena anak pegawai istana ini sakit, tetapi Dia juga tidak ingin pegawai ini beriman kepada Dia dengan cara yang salah. Maka Yesus memberikan peringatan, “kalau tidak lihat mukjizat, engkau tidak akan percaya…” dan juga tanda bahwa Dialah benar-benar Mesias yang dijanjikan itu. Ketika mereka sedang berbicara, pada saat yang sama itu Kristus menyembuhkan anak yang sakit itu. Tanpa hadir, tanpa memegang tangan, tanpa apa pun selain percakapan dengan pegawai istana itu. Betapa luar biasanya hal ini! Sang pegawai istana segera memercayai kalimat Yesus. Dia tidak pulang dulu lalu tanya bagaimana keadaan anaknya. Dia percaya bahwa anaknya telah sembuh. Ini iman yang sangat baik. Dia tidak memaksa untuk Yesus datang ke Kapernaum. Dia percaya bahwa kuasa Yesus dari mana pun akan menyembuhkan anaknya.

Ketika tiba keesokan harinya, dia bertemu dengan orang-orang Kapernaum, yaitu para hambanya, yang membawa kabar bahwa anaknya telah sembuh. Kapankah anaknya sembuh? Jam satu kemarin, waktu yang persis sama ketika Yesus berkata, “anakmu hidup”. Ini berarti setelah berbicara dengan Yesus dia tidak segera pulang. Dia menginap satu hari sebelum tiba di Kapernaum. Perjalanan pulang yang ditempuh oleh pegawai istana ini menunjukkan dia tidak tergesa-gesa ingin pulang. F. F. Bruce, seorang ahli Perjanjian Baru, mengatakan bahwa pegawai istana ini melakukan perjalanan pulang yang santai, seperti perjalanan umumnya. Dia tidak tergesa-gesa ingin pulang. Mengapa tidak? Karena dia telah percaya bahwa anaknya sembuh. Setelah itu, di ayat 53 dikatakan bahwa pegawai istana itu menjadi orang percaya beserta dengan seluruh rumah tangganya. Injil telah dipercaya melalui pekerjaan mukjizat yang Yesus lakukan.

Yesus telah menyatakan mukjizat-Nya yang luar biasa. Dia tidak perlu datang, melihat anak itu, menyentuh, atau apa pun. Jika Dia memutuskan untuk datang dan menyentuh orang yang Dia sembuhkan, itu bukan karena kuasa kesembuhan-Nya baru efektif dengan sentuhan. Tidak sama sekali! Dia memiliki keinginan untuk menyatakan kasih dan perhatian-Nya melalui sentuhan, tetapi bukan karena itu adalah satu-satunya cara mukjizat-Nya diberikan.

Dalam bagian ini mukjizat Yesus dilakukan bermil-mil jauhnya dari Kana ke Kapernaum. Tetapi hal yang paling utama adalah, setelah menyadari siapa Yesus, bagaimana respons kita? Apakah kita terus berada di dalam level iman karena mukjizat? Mukjizat diberikan agar kita tahu siapa Dia sesungguhnya. Jika kita sudah tahu siapa Dia sesungguhnya, maka bukan lagi mukjizat yang penting. Yang penting adalah iman yang berserah, taat, mengasihi Dia, mengutamakan Dia, bahkan rela berkorban bagi Dia. Inilah iman yang Tuhan hargai, bukan “iman” egois yang memanipulasi mukjizat demi diri. (JP)

× Silahkan Hubungi Kami